Sang Philosophia

Home » 2012 » April » 09

Daily Archives: April 9, 2012

Pythagoras (582 SM – 496 SM)

Phytagoras lahir pada tahun 570 SM, di pulau Samos, di daerah Ionia. Pythagoras (582 SM – 496 SM, bahasa Yunani: Πυθαγόρας) adalah seorang matematikawan dan filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya.Dikenal sebagai “Bapak Bilangan”, dia memberikan sumbangan yang penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada akhir abad ke-6 SM. Kehidupan dan ajarannya tidak begitu jelas akibat banyaknya legenda dan kisah-kisah buatan mengenai dirinya.

Dalam tradisi Yunani, diceritakan bahwa ia banyak melakukan perjalanan, diantaranya ke Mesir. Perjalanan Phytagoras ke Mesir merupakan salah satu bentuk usahanya untuk berguru, menimba ilmu, pada imam-imam di Mesir. Konon, karena kecerdasannya yang luar biasa, para imam yang dikunjunginya merasa tidak sanggup untuk menerima Phytagoras sebagai murid. Namun, pada akhirnya ia diterima sebagai murid oleh para imam di Thebe. Disini ia belajar berbagai macam misteri. Selain itu, Phytagoras juga berguru pada imam-imam Caldei untuk belajar Astronomi, pada para imam Phoenesia untuk belajar Logistik dan Geometri, pada para Magi untuk belajar ritus-ritus mistik, dan dalam perjumpaannya dengan Zarathustra, ia belajar teori perlawanan.

Selepas berkelana untuk mencari ilmu, Phytagoras kembali ke Samos dan meneruskan pencarian filsafatnya serta menjadi guru untuk anak Polycartes, penguasa tiran di Samos. Kira-kira pada tahun 530, karena tidak setuju dengan pemerintahan tyrannos Polycartes, ia berpindah ke kota Kroton di Italia Selatan. Di kota ini, Phytagoras mendirikan sebuah tarekat beragama yang kemudian dikenal dengan sebutan “Kaum Phytagorean.”

KAUM PHYTAGOREAN

Kaum phytagorean sangat berjasa dalam meneruskan pemikiran-pemikiran Phytagoras. Semboyan mereka yang terkenal adalah “authos epha, ipse dixit” (dia sendiri yang telah mengatakan demikian).2 Kaum ini diorganisir menurut aturan-aturan hidup bersama, dan setiap orang wajib menaatinya. Mereka menganggap filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai jalan hidup, sarana supaya setiap orang menjadi tahir, sehingga luput dari perpindahan jiwa terus-menerus.

Diantara pengikut-pengikut Phytagoras di kemudian hari berkembang dua aliran. Yang pertama disebut akusmatikoi (akusma = apa yang telah didengar; peraturan): mereka mengindahkan penyucian dengan menaati semua peraturan secara seksama. Yang kedua disebut mathematikoi (mathesis = ilmu pengetahuan): mereka mengutamakan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pasti.

PEMIKIRAN PHYTAGORAS

Phytagoras percaya bahwa angka bukan unsur seperti udara dan air yang banyak dipercaya sebagai unsur semua benda. Angka bukan anasir alam. Pada dasarnya kaum Phytagorean menganggap bahwa pandangan Anaximandros tentang to Apeiron dekat juga dengan pandangan Phytagoras. To Apeiron melepaskan unsur-unsur berlawanan agar terjadi keseimbangan atau keadilan (dikhe). Pandangan Phytagoras mengungkapkan bahwa harmoni terjadi berkat angka. Bila segala hal adalah angka, maka hal ini tidak saja berarti bahwa segalanya bisa dihitung, dinilai dan diukur dengan angka dalam hubungan yang proporsional dan teratur, melainkan berkat angka-angka itu segala sesuatu menjadi harmonis, seimbang. Dengan kata lain tata tertib terjadi melalui angka-angka.

Salah satu peninggalan Phytagoras yang terkenal adalah teorema Pythagoras, yang menyatakan bahwa kuadrat hipotenusa dari suatu segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat dari kaki-kakinya (sisi-sisi siku-sikunya). Walaupun fakta di dalam teorema ini telah banyak diketahui sebelum lahirnya Pythagoras, namun teorema ini dikreditkan kepada Pythagoras karena ia lah yang pertama membuktikan pengamatan ini secara matematis.[1]

Pythagoras dan murid-muridnya percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berhubungan dengan matematika, dan merasa bahwa segalanya dapat diprediksikan dan diukur dalam siklus beritme. Ia percaya keindahan matematika disebabkan segala fenomena alam dapat dinyatakan dalam bilangan-bilangan atau perbandingan bilangan. Ketika muridnya Hippasus menemukan bahwa \sqrt{2}, hipotenusa dari segitiga siku-siku sama kaki dengan sisi siku-siku masing-masing 1, adalah bilangan irasional, Pythagoras memutuskan untuk membunuhnya karena tidak dapat membantah bukti yang diajukan Hippasus.

[1] http://ariaturns.wordpress.com/2008/09/12/pembuktian-teorema-pythagoras/  http://id.wikipedia.org/wiki/Pythagoras   http://dpenga.blogspot.com/2008/10/phytagoras.html

PEMBUKTIAN TEOREMA PHYTAGORAS

Teorema pythagoras boleh dibilang adalah teorema paling terkenal di matematika, kalo gak salah kita sudah mempelajari theorema tersebut sejak SMP (cmiiw). Pada tahun 572 sebelum masehi Pythagoras berkata bahwa jumlah kuadrat kedua sisi siku-siku pada segitiga siku-siku sama dengan panjang kuadrat sisi miringnya. Konon 1000 tahun sebelum Pytagiras lahir  bangsa babylonia telah menyadari hubungan antara sisi siku-siku dengan sisi miringnya pada segitiga siku-siku, tapi pythagoraslah yang pertamakali menyatakan hubungan tersebut dalam persamaan matematika.

Sebenarnya ada 79 cara untuk membuktikan teorema pytagoras. Tapi saya akan menggunakan cara pembuktian yang paling terkenal, pembuktian oleh astronom India Bhaskara (1114-1185).

Langkah pertama buat 4 buah segitiga siku-siku yang sama

Lalu susun menjadi bentuk dibawah ini

bujur sangkar dengan panjang sisi b+a

Perhatikan daerah diasir kuning, sebuah belah ketupat dengan panjang sisi C

maka kita tau bahwa luas belahketupat ditambah luas 4 segitiga siku-siku sama denagn luas bujur sangkar

Anaximenes (d. 528 BCE)

Anaximenes adalah seorang filsuf yang berasal dari kota Miletos, sama seperti Thales dan Anaximandros.[1] Anaximenes hidup sezaman dengan kedua filsuf tersebut, kendati ia lebih muda dari Anaximandros.[2][1] Ia disebut di dalam tradisi filsafat Barat, bersama dengan Thales dan Anaximandros, sebagai anggota Mazhab Miletos.[2][3] Anaximenes adalah teman, murid, dan pengganti dari Anaximandros.[4][5] Sebagaimana kedua filsuf Miletos yang lain, ia berbicara tentang filsafat alam, yakni apa yang menjadi prinsip dasar (arche) segala sesuatu.[2]

RIWAYAT HIDUP

Tentang riwayat hidupnya, tidak banyak yang diketahui.[1] Anaximenes mulai terkenal sekitar tahun 545 SM, sedangkan tahun kematiannya diperkirakan sekitar tahun 528/526 SM.[3] Ia diketahui lebih muda dari Anaximandros.[1] Ia menulis satu buku, dan dari buku tersebut hanya satu fragmen yang masih tersimpan hingga kini.[1]

PEMIKIRAN

Udara sebagai prinsip dasar segala sesuatu

Salah satu kesulitan untuk menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana menjelaskan hubungan saling memengaruhi antara yang metafisik dengan yang fisik.[2] Karena itulah, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang bersifat fisik yakni udara.[2][1][3]

Tidak seperti air yang tidak terdapat di api (pemikiran Thales), udara merupakan zat yang terdapat di dalam semua hal, baik air, api, manusia, maupun segala sesuatu.[2] Karena itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu.[2] Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau akan muncul sebagai bentuk lain.[3][1][4] Perubahan-perubahan tersebut berproses dengan prinsip “pemadatan dan pengenceran” (condensation and rarefaction.[3][1][5] Bila udara bertambah kepadatannya maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah, dan kemudian batu.[1][6] Sebaliknya, bila udara mengalami pengenceran, maka yang timbul adalah api.[1][6] Proses pemadatan dan pengenceran tersebut meliputi seluruh kejadian alam, sebagaimana air dapat berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana seluruh substansi lain dibentuk dari kombinasi perubahan udara.[6]

Tentang Alam Semesta

Pembentukan alam semesta menurut Anaximenes adalah dari proses pemadatan dan pengenceran udara yang membentuk air, tanah, batu, dan sebagainya.[1] Bumi, menurut Anaximenes, berbentuk datar, luas, dan tipis, hampir seperti sebuah meja.[1][6] Bumi dikatakan melayang di udara sebagaimana daun melayang di udara.[1][5] Benda-benda langit seperti bulan, bintang, dan matahari juga melayang di udara dan mengelilingi bumi.[1] Benda-benda langit tersebut merupakan api yang berada di langit, yang muncul karena pernapasan basah dari bumi.[3] Bintang-bintang tidak memproduksi panas karena jaraknya yang jauh dari bumi.[3] Ketika bintang, bulan, dan matahari tidak terlihat pada waktu malam, itu disebabkan mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari bumi ketika mereka mengitari bumi.[1][3] Kemudian awan-awan, hujan, salju, dan fenomena alam lainnya terjadi karena pemadatan udara.[3]

Tentang Jiwa

Jiwa manusia dipandang sebagai kumpulan udara saja.[1] Buktinya, manusia perlu bernapas untuk mempertahankan hidupnya.[1] Jiwa adalah yang mengontrol tubuh dan menjaga segala sesuatu pada tubuh manusia bergerak sesuai dengan yang seharusnya.[6] Karena itu, untuk menjaga kelangsungan jiwa dan tubuh.[6] Di sini, Anaximenes mengemukakan persamaan antara tubuh manusiawi dengan jagat raya berdasarkan kesatuan prinsip dasar yang sama, yakni udara.[1] Tema tubuh sebagai mikrokosmos (jagat raya kecil) yang mencerminkan jagat raya sebagai makrokosmos adalah tema yang akan sering dibicarakan di dalam Filsafat Yunani.[1] Akan tetapi, Anaximenes belum menggunakan istilah-istilah tersebut di dalam pemikiran filsafatnya.[1]

Referensi

  1. K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakart: Kanisius. Hal. 31-33.
  2. Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 22-23.
  3. P. Diamandopoulos. 1972. “Anaximenes”. In The Encyclopedia of Philosophy Volume 1. Paul Edwards (Ed.). New York: Macmillan Publishing & The Free Press.
  4. W.K.C. Guthrie. 1985. A History of Greek Philosophy Volume 1. London: Cambridge University Press.
  5. Keimpe Algra. 1999. “The Beginning of Cosmology”. In The Cambridge Companion to Early Philosophy. A.A. Long (Ed.). London: Cambridge University Press. P. 45-65.
  6. Richard McKirahan. 2003. “Presocratic Philosophy”. In The Blackwell Guide to Ancient Philosophy. Christopher Shields (Ed.). Malden: Blackwell Publishing.

Anaximandros of Miletos (fl. 575 B.C.)

Ancient science is sometimes a story of a handful of individuals, either isolated or connected by a tenuous relation, often communicating across a century or more in their writings rather than working together in a sustained collective enterprise or institution (as we know today). Yet Thales was followed by two successors in the same century in the same city of Miletos, both of whom advocated a variation of monism, the idea that everything can be reduced to a single principle. When Thales declared that water is the principle of all things, the significant implication of that declaration was that all things are made of one immortal divine principle, regardless of what that first principle might be. This commitment to monism became the legacy of Thales, continued and affirmed in his turn by Anaximandros (this page) and Anaximenes (next page).

Anaximandros of Miletos suggested that thunder is due not to Zeus, but to wind; similarly, lightning arises from the splitting of a cloud. Like Thales, Anaximandros of Miletos rejected the anthropomorphic Olympian gods in favor of an impersonal and monistic conception of divinity — that everything is One. But unlike Thales, Anaximandros rejected water as the ultimate principle (archai) of all things.

That all things are made of water is not the kind of statement one is driven to by observation. Arguments then and now about what reality is and how it is best known are carried out on a high intellectual plane, and require a determined drive for rational order in the universe that flies in the face of normal observation — this is especially the case for any assertion that everything is actually the same. Yet Anaximandros’ answer seems even further removed from common experience and observation than water. Anaximandros reasoned that new things are continually coming to be from a boundless quantity of material, and these things have opposite qualities; e.g., some are wet and others dry. Yet if water were the principle of all things, then everything should be wet. Water and fire can destroy one another, so how could fire have come to be from only water? Rather, water must be considered as being itself one of the opposites; therefore it cannot be the primary thing (contra Thales). Thus the ultimate thing must be something as-yet-undifferentiated, without qualities, which could give rise to both wet-dry, hot-cold, and other opposite qualities in equal amounts and simultaneously. (Anaximandros might feel vindicated if he could hear a particle physicist today describe the creation of a pair of anti-particles from a fluctuation in an energy field!)

Aristotle, Physics. iii. 5 ; 204 b 22.
“But it is not possible that infinite matter is one and simple; either, as some say, that it is something different from the elements, from which they are generated, or that it is absolutely one. For there are some who make the infinite of this character, but they do not consider it to be air or water, in order that other things may not be blotted out by the infinite; for these are mutually antagonistic to one another, inasmuch as air is cold, water is moist, and fire hot; if one of these were infinite, the rest would be at once blotted out; but now they say that the infinite is something different from these things, namely, that from which they come.” (Hanover Historical Texts Project)

For Anaximandros, that undifferentiated thing is apeiron, a Greek word derived from a Homeric adjective for without limit, without definition; the Boundless or indefinite. We will not translate it. For Anaximandros, apeiron is unlimited in quantity and extent, and has no physical characteristics such as wet or hot or dry or cold. Anaximandros regarded apeiron as divine, immortal, and indestructible; from it all things arise, all the heavens and the worlds within them.

Aristotle, Physics. iii. 4; 203 b 7.
“There is no beginning of the infinite [apeiron], for in that case it would have an end. But it is without beginning and indestructible, as being a sort of first principle; for it is necessary that whatever comes into existence should have an end, and there is a conclusion of all destruction. Wherefore as we say, there is no first principle of this [i.e. the apeiron], but it itself seems to be the first principle of all other things and to surround all and to direct all, as they say who think that there are no other causes besides the infinite (such as mind, or friendship), but that it itself is divine; for it is immortal and indestructible, as Anaximandros and most of the physicists say.” (Hanover Historical Texts Project)

In contrast to the immortal divinity apeiron, all things produced from apeiron are transient: worlds, heavens, forms of life, elements with opposite qualities, all are continually coming to be or passing away. The transience of all qualities was associated with retributive justice, and the concept that reparation is due for encroachment. The emergence of one quality is an encroachment, or injustice imposed upon its opposite; for example, warmth encroaches in summer, then withdraws in winter. Thus each element must pay reparations for its encroachments, so that a lawful balance may be maintained. In this way human law was extended to the cosmos, in an eternal cycle of trespass and banishment in which all things participate.

To maintain Thales’ monism in the face of the dualisms of common opposites, Anaximandros proposed the apeiron as a neutral thing that produces opposite qualities simultaneously. This is analogous to the diversification observed in natural growth, as when a homogenous seed develops into a plant with diverse parts such as roots, leaves, fruit, or bark.

Anaximandros was also credited with proposing a mechanism for how new worlds continually come to be by acquiring their forms in an eternally whirling vortex. The Earth is a cylindrical column surrounded by a fire. In the whirling vortex, heavy elements (such as earth and water) remain in the center, while lighter elements such as fire move outward to form gigantic rings around the Earth. Stars are punctured holes in the gigantic rings of fire, through which the fiery region beyond may be glimpsed from the Earth.

“The Sun and Moon are each an aperture in separate solid rings like the felloes of cartwheels. These rings consist of fire surrounded by air (regarded as concealing mist), and out of the single aperture in each of them fire emerges like air from the nozzle of a bellows…. Eclipses, and phases of the moon, are due to a total or partial blocking of the aperture…. The aperture of the Sun is the same size as the surface (presumably) of the Earth (fr. 129)….the diameter of its wheel is twenty-seven times as great as this (twenty-eight times in fr. 128). The Moon-wheel is nineteen Earth-diameters (or eighteen, presumably) across….The star-wheels …were presumably of nine (or ten) earth-diameters, being nearest to the earth” (fr.127).” (Kirk & Raven, 146)

Anaximandros reportedly also believed that life evolved naturally from the sea — humans, perhaps, from a fish such as the dog-shark (which has a placenta). Life evolved from the sea, Anaxamandros suggested, not from the actions of the Olympian gods, nor descended from the gods. Simple animals may spontaneously come into being.

Plutarch. Symp. viii. 730 E.
“Wherefore they (the Syrians) reverence the fish as of the same origin and the same family as man, holding a more reasonable philosophy than that of Anaximandros; for he declares, not that fishes and men were generated at the same time, but that at first men were generated in the form of fishes, and that growing up as sharks do till they were able to help themselves, they then came forth on the dry ground.” (Hanover Historical Texts Project)

Without diminishing the striking interest of his views in cosmology and biology, Anaxamandros’ affirmation of monism was the most fruitful tradition passed on to later presocratic philosophers.

Physicist
First principle
Character
Thales of Miletos
Water
Monism
Anaximandros of Miletos
Apeiron
Monism